Berikut adalah pengalaman pertama saya mengurus klaim nasabah.
Berawal di suatu siang tanggal 7 Agustus 2014 yang lalu.. Saya sedang berkutat dengan kesibukan di kantor saat menerima telpon dari istri pak Ming, nasabah saya.. Dengan suara terbata bata karena tegang dan panik, bu Ming memberi tahu bahwa suaminya terkena stroke di Ciater, tempat mereka sekeluarga sedang berlibur.. Bu Ming minta rekomendasi dokter dan rumah sakit di Bandung.. Sebagai warga Jakarta, mereka tidak tahu dokter atau rumah sakit terbaik untuk pasien stroke.. Saya pun terpanggil untuk membantu mereka semaksimal mungkin, segera saya mencari info tentang dokter dan rumah sakit di Bandung.. Akhirnya pak Ming dirawat di ICU RS Sentosa di Bandung yang banyak menangani pasien stroke..
Saat ibu Ming menelpon saya, beliau menyatakan amat sangat menyesal mengapa dulu memutuskan mengambil uang proteksi penyakit kritis hanya Rp 200 juta, pada hal dulu saya menyarankan untuk mengambil Rp 1 miliar demi kebaikan suaminya sebagai pencari nafkah dan tiang ekonomi keluarga.. Mereka menolak mengambil Rp 1 miliar karena menurut mereka pak Ming selama ini sehat sehat.. Tapi terbukti, siapa yang bisa menduga apa yang akan terjadi hari esok .
Pelajaran ini sangat membekas dalam pikiran saya.. Keyakinan saya sebagai agen semakin tumbuh, bahwa uang proteksi penyakit kritis jangan ditawar tawar.. Minimal Rp 1 miliar saat ini adalah jumlah yang layak dan cukup untuk nasabah berobat dan untuk menyambung berbagai biaya hidup karena penghasilan berhenti tiba tiba.. BPJS dan asuransi kesehatan rawat inap tidak akan memberikan santunan tunai, pada hal biaya pendidikan anak, cicilan rumah, dan sejumlah tagihan lain hanya bisa diselesaikan dengan uang tunai dalam jumlah yang banyak / memadai..
Esoknya saya langsung ke Bandung untuk menengok pak Ming.. Saya bawakan makanan dan vitamin untuk bu Ming karena menjaga orang sakit perlu stamina prima.. Pak Ming saat itu masih di ICU dan belum sadar.. Menurut bu Ming, rupanya suaminya tidak sadar tekanan darahnya sedang tinggi saat beliau berlama lama berendam di kolam air panas di Ciater..
Pak Ming lupa, bahwa berendam lama lama di air panas tidak dianjurkan bagi pengidap hipertensi karena akan membuka pembuluh darah.. Lalu, esoknya di cuaca yang sangat dingin beliau langsung mengguyur kepala dengan air yang sangat dingin.. Akibatnya, pembuluh darah di otaknya mendadak menyempit, hingga ujungnya pembuluh darah di otaknya pecah dan berakhir dengan stroke yang cukup parah.. Saya ingatkan ke bu Ming, agar bersiap mental karena pengobatan stroke memerlukan biaya yang sangat mahal dan berkepanjangan..
Beberapa hari kemudian, saya kembali menjenguk pak Ming di Bandung, sekalian membawa sejumlah form untuk klaim yang perlu ditandangani oleh dokter yang merawatnya.. Saya ajarkan ke keluarga pak Ming caranya meminta dokter untuk mengisi form tersebut.. Klaim untuk stroke perlu memenuhi beberapa kondisi yang disyaratkan di polis dan ada ada masa tunggunya, jadi perlu sedikit waktu utk memenuhi persyaratan klaim, apalagi beliau baru 10 bulan membayar polis sehingga pihak Allianz perlu mengecek kondisi kesehatan beliau sebelum membeli polis apakah ini penyakit bawaan atau bukan.. Satu lagi pelajaran berharga lagi buat saya untuk membeli polis selagi kita dalam keadaan sehat.. Jika sudah ada penyakit baru mau beli polis, maka tidak akan ada asuransi yang akan menerima kita.
Puji Tuhan ! Setelah semua persyaratan dipenuhi, akhir Oktober 2014 datanglah kabar baik yang saya tunggu tunggu.. Anak pak Ming menelpon saya, bahwa mereka telah terima klaim asuransi Allianz sebesar Rp 200.946.670,- sudah masuk ke rekening ahli waris.. Sungguh saya sangat gembira dan tak putus putusnya bersyukur, karena jumlah proteksi penyakit kritis yang dijanjikan keluar.. Allianz sungguh bonafid dalam memegang teguh komitmennya kepada nasabah.. Rasa percaya diri saya sebagai partner Allianz semakin tebal dan kokoh.. Saya semakin bersemangat untuk membantu banyak keluarga terhindar dari bencana keuangan..
Kontributor : Veronica Sik