Suatu akhir pekan yang ceria, seorang ayah sedang bercengkerama penuh canda tawa dengan kedua anak yang sangat disayanginya. Tak lama berselang, sang ibu turut bergabung sambil menghidangkan minuman beserta makanan ringan kesukaan mereka. Tiba-tiba percakapan berubah arah menjadi lebih serius.

Sambil menatap wajah anak sulungnya, ayah bertanya, “Roy..…kamu masih bersemangat melanjutkan kuliah teknik di Jerman?”.

“Iya, dong ayah…fakultas teknik di Jerman top banget. Kemarin aku buka-buka referensi di internet dan ternyata kualitas pendidikan di Jerman memang salah satu yang terbaik di dunia,” Roy menguraikan dengan penuh semangat.

Belum sempat ditanya, si bungsu Rio sudah langsung nyerocos menimpali kata-kata kakaknya.

“Kalo aku nanti mau tetap kuliah di Indonesia aja, ayah. Trus, aku mau mengembangkan agroindustri di sini. Tapi ntar aku dimodalin ayah ya,” canda Rio.

Ayah dan ibu tersenyum bangga mendengar jawaban anak-anak mereka. Sang ayah lalu membalas, “Ayah dan ibu selalu mengusahakan yang terbaik buat kalian. Masih ada waktu untuk mengumpulkan tambahan dana pendidikan dan juga dana usaha untuk kalian. Disamping aset-aset yang sudah ayah & ibu kumpulkan selama ini. Tugas kalian cuma satu : belajar dengan baik. Udah itu saja”.

“Siaaappppp, komandan !”, teriak Roy & Rio dengan riang.

Setahun berselang sejak obrolan penuh tawa tersebut lalu pada suatu hari menggelegarlah petir di siang bolong. Tergopoh-gopoh si istri bergegas menyusuri koridor rumah sakit yang lengang menuju ruang ICU. Ia menerima kabar dari kantor bahwa suaminya harus dilarikan ke RS karena tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri saat sedang memimpin rapat di kantor.

“Suami ibu terserang stroke dan tampaknya cukup parah. Saat ini beliau sedang dalam kondisi koma. Kita sedang berjuang keras untuk mengatasi keadaan ini”, urai dokter yang menemui di depan ruang ICU.

Sambil sesenggukan, si istri hanya bisa menatap nanar suaminya yang terbujur lemas dari balik kaca jendela ruang ICU. Kabel & selang alat medis berseliweran di sekitar tubuhnya. Hati sang istri tak henti-hentinya merapalkan untaian-untaian doa berharap agar Sang Pencipta masih memberi kesempatan mereka untuk berkumpul lagi.

Roy, Rio dan ibu duduk-duduk melepas penat di teras belakang. Mereka baru saja selesai beres-beres ruangan dan hidangan setelah para tamu tahlilan pulang meninggalkan mereka bertiga.

“Gak ada ayah sepi ya,” suara si bungsu Rio memecah keheningan.

“Padahal dulu kita sering bersenda gurau sama ayah di sini,” tambah Roy.

Si ibu hanya tertunduk diam mendengar kata-kata dua anaknya tersebut.

Roy kemudian melanjutkan kalimatnya dengan perlahan. Kali ini ditujukan kepada ibunya, “Oya, bu…kemarin Roy dan Rio sempet ngobrol tentang rencana-rencana kita ke depan sepeninggalan ayah. Kita bisa memahami kok jika Jerman batal karena tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Rio juga nanti akan mengusahakan sendiri modal kerja untuk rencana bisnisnya”.

Senyum wanita paruh baya itu tersungging di wajahnya yang tampak penat mendengar ketulusan dan pengertian anak-anaknya. “Tidak apa-apa, nak…rencana kalian akan tetap berjalan seperti yang kita bicarakan sebelumnya,” kata si ibu dengan lembut.

“Tapi, bu…kita tidak mau membebani ibu dengan impian-impian kita,” giliran si bungsu Rio buka suara.

Sambil menghela napas panjang sang ibu mulai bercerita, “Ayah kalian sangat sayang dengan kalian dan ibu. Bahkan jauh melebihi sayangnya terhadap dirinya sendiri. Dia rela mengurangi kesenangan dirinya selama ini agar bisa menyisihkan premi untuk memiliki perlindungan finansial yang layak buat keluarganya”.

Sambil menahan tangis, ibu melanjutkan, “Semua itu dia lakukan agar kehidupan dan impian keluarganya tetap terpelihara seandainya terjadi hal-hal di luar dugaan seperti yang beliau alami saat ini.”

“Ayah kalian tidak hanya mendukung kalian saat masih hidup. Bahkan saat sudah meninggalkan kita selama-lamanya pun dia masih mendukung kalian beserta impian-impian kalian,” ucap ibu sambil sesenggukan. Kali ini tidak bisa membendung lagi air matanya lalu beranjak masuk ke rumah meninggalkan Roy & Rio di teras.

Air mata pun mulai membasahi mata Roy & Rio. Mereka tidak menyangka sebegitu besar kasih sayang orang tua mereka kepada anak-anaknya. Tenggorokan mereka tercekat tidak mampu mengucapkan kata-kata. Setelah berulang kali mengatur napas dan mencoba mengendalikan emosinya Roy memejamkan mata dan mulai berdoa, “Ayah yang baik, terima kasih atas segala upaya dan jerih payah yang ayah lakukan untuk kami sehingga kami tidak perlu mengubur impian kami.”

Si bungsu Rio hanya tertunduk diam mengikuti kata-kata doa kakaknya. Lidahnya masih kelu disergap kesedihan yang amat sangat teringat akan kebaikan dan pengorbanan yang dilakukan ayahnya selama ini.

Dan teras belakang rumah tempat mereka bercengkerama dengan sang ayah menjadi saksi bisu sebuah cita-cita keluarga yang tetap terjaga meskipun musibah melanda.

 

Kontributor: Felix Yulisar (https://instagram.com/felix_yulisar)