Valentine 2015, Sabtu pagi yang cerah, seperti biasa bangun tidur sambil masih malas-malasan di kamar, aku buka handphoneku. Aku bangun siang karena malamnya pulang cukup larut setelah menemani seorang teman dan sekaligus klien yang menjaga suaminya di rumah sakit. Malam terakhir di RS karena dokter menyatakan ‘Besok pagi boleh pulang’. Aku minta tanda tangan sang suami untuk pengurusan klaim serangan jantung, dan seorang teman lain sempat nyeletuk ‘Enak bener ya sakit 2-3 hari dapat uang semilyar’.
Pagi valentine itu aku buka hp dan iseng membuka ‘recent update’, dan dalam hati menebak kalau status ‘happy valentine’ akan menjadi status sejuta umat. Secara beruntun, aku melihat teman-temanku mengupdate statusnya dengan bahasa yang sama, tapi bukan ‘happy valentine’. Kuulang-ulang membaca status kembar berpuluh-puluh itu di saat bersamaan, terus kuulang sampai aku yakin benar dengan apa yang kubaca: ‘selamat jalan, Iwan…’
Pagi itu, seketika segalanya berubah gelap walaupun matahari terang benderang. Aku dampingi temanku tanpa beranjak sedikitpun dari sisinya. Ada 3 kali dia pingsan di tubuhku. Aku rasakan kesedihannya, keterpurukannya, ketidaksiapannya dan kehancurannya ditinggal suami. Sebetulnya aku bukan ‘sahabatnya’, aku hanya berteman cukup baik. Tapi di saat seperti itu, aku betul-betul tidak ingin meninggalkannya. Bukan terutama karena dia temanku, tapi lebih karena dia klienku.
Berminggu-minggu aku menemani dia, di sela-sela kesibukanku mengurus klaimnya. Inilah klaim pertamaku selama 1,5 tahun (sampai dengan saat itu) sebagai agen. Ke’amatiran’ku dalam mengurus klaim sering menimbulkan kejengkelan temanku. Kehadiranku yang semula disambut sangat baik, berubah menjadi penolakan terang-terangan. Tersinggungkah aku? Tidak. Aku justru makin memahami, bahwa uang pertanggungan sebuah polis asuransi, sangat berharga dan dinantikan oleh seorang istri.
Tibalah hari pencairan itu. Satu milyar sebelas juta sekian. Usia polis 12 bulan. Temanku heran dengan angka ‘sebelas juta sekian’ yang ganjil itu, yang kemudian aku jelaskan bahwa itu adalah nominal investasi yang terbentuk selama 12 bulan dia membayar premi. Dia heran karena pencairan klaim suaminya di asuransi lain yang usia polisnya lebih lama, hanya diterima uang pertanggungan saja tanpa hasil investasi, dengan alasan nilai investasi belum ada yang terbentuk.
Temanku ini, sekarang menjadi seorang sahabat yang sangat dekat denganku. Begitupun sahabat-sahabatnya, mendadak sontak menjadi bagian dari keseharianku. Anak-anak kamipun bersahabat. Kami merencanakan liburan bersama, bahkan masa depan bersama. Kepergian ‘seorang suami’ diantara persahabatan mereka, membuka mata mereka bahwa uang pertanggungan adalah pertolongan pertama yang akan menyelamatkan kekacauan ekonomi keluarga setelah seorang seorang suami dan ayah pergi selamanya.
Tanpa kuminta, mereka memintaku  mereview polis mereka. Tanpa berbelit, mereka naikkan nilai proteksi sesuai kemampuan mereka secara sangat maksimal. Aku jadi ingat sebuah tulisan yang sering kubaca: “Asuransi jiwa dibuat bukan karena seseorang akan mati, tapi karena ada orang-orang tercinta yang harus tetap hidup!”
Selamat jalan, Iwan…
Kontributor : Fitri Wirantie (Nien)